Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal salih, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan Dia sungguh akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar akan mengubah keadaan mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun.” (QS. an-Nuur: 55)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Seandainya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan bukakan bagi mereka keberkahan dari langit dan bumi.” (QS. al-A’raaf: 96)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya; Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari kalian dan telah nyata antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selamanya sampai kalian mau beriman kepada Allah saja.” (QS. al-Mumtahanah: 4)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang pemimpin panutan, seorang yang selalu patuh kepada Allah, hanif/bertauhid, dan sama sekali dia bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. an-Nahl: 12)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu perkara yang memiliki bekas-bekas/dampak yang baik serta keutamaan yang beraneka ragam seperti halnya tauhid. Karena sesungguhnya kebaikan di dunia dan di akherat itu semua merupakan buah dari tauhid dan keutamaan yang muncul darinya.” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 16)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah juga berkata, “Segala kebaikan yang segera -di dunia- ataupun yang tertunda -di akherat- sesungguhnya merupakan buah dari tauhid, sedangkan segala keburukan yang segera ataupun yang tertunda maka sesungguhnya itu merupakan buah/dampak dari lawannya….” (lihat al-Qawa’id al-Hisan al-Muta’alliqatu Bi Tafsir al-Qur’an, hal. 26)
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia’nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/17] cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Perkara paling agung yang diperintahkan Allah adalah tauhid, yang hakikat tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Tauhid itu mengandung kebaikan bagi hati, memberikan kelapangan, cahaya, dan kelapangan dada. Dan dengan tauhid itu pula akan lenyaplah berbagai kotoran yang menodainya. Pada tauhid itu terkandung kemaslahatan bagi badan, serta bagi [kehidupan] dunia dan akhirat. Adapun perkara paling besar yang dilarang Allah adalah syirik dalam beribadah kepada-Nya. Yang hal itu menimbulkan kerusakan dan penyesalan bagi hati, bagi badan, ketika di dunia maupun di akhirat. Maka segala kebaikan di dunia dan di akhirat itu semua adalah buah dari tauhid. Demikian pula, semua keburukan di dunia dan di akhirat, maka itu semua adalah buah dari syirik.” (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah, hal. 18)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya tauhid menjadi perintah yang paling agung disebabkan ia merupakan pokok seluruh ajaran agama. Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan ajakan itu (tauhid), dan beliau pun memerintahkan kepada orang yang beliau utus untuk berdakwah agar memulai dakwah dengannya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 41)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menasihatkan, “Apabila para da’i pada hari ini hendak menyatukan umat, menjalin persaudaraan dan kerjasama, sudah semestinya mereka melakukan ishlah/perbaikan dalam hal aqidah. Tanpa memperbaiki aqidah tidak mungkin bisa mempersatukan umat. Karena ia akan menggabungkan antara berbagai hal yang saling bertentangan. Meski bagaimana pun cara orang mengusahakannya; dengan diadakannya berbagai mu’tamar/pertemuan atau seminar untuk menyatukan kalimat. Maka itu semuanya tidak akan membuahkan hasil kecuali dengan memperbaiki aqidah, yaitu aqidah tauhid…” (lihat Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah, hal. 16)
Apabila memelihara kesehatan tubuh adalah dengan mengkonsumsi makanan bergizi dan obat-obatan, maka sesungguhnya memelihara tauhid adalah dengan ilmu dan dakwah. Sementara tidak ada suatu ilmu yang bisa memelihara tauhid seperti halnya ilmu al-Kitab dan as-Sunnah. Demikian pula tidak ada suatu dakwah yang bisa menyingkap syirik dengan jelas sebagaimana dakwah yang mengikuti metode keduanya [al-Kitab dan as-Sunnah, pent] (lihat asy-Syirk fi al-Qadiim wa al-Hadiits, hal. 6)
Imam Bukhari rahimahullah memulai kitab Sahih-nya dengan Kitab Bad’il Wahyi [permulaan turunnya wahyu]. Kemudian setelah itu beliau ikuti dengan Kitab al-Iman. Kemudian yang ketiga adalah Kitab al-‘Ilmi. Hal ini dalam rangka mengingatkan, bahwasanya kewajiban yang paling pertama bagi setiap insan adalah beriman [baca: beraqidah yang benar/bertauhid]. Sementara sarana untuk menuju hal itu adalah ilmu. Kemudian, yang menjadi sumber/rujukan iman dan ilmu adalah wahyu [yaitu al-Kitab dan as-Sunnah] (lihat dalam mukadimah tahqiq kitab ‘Aqidah Salaf wa Ash-habul Hadits, hal. 6)
Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah berkata, “… sesungguhnya memperhatikan perkara tauhid adalah prioritas paling utama dan kewajiban paling wajib. Sementara meninggalkan dan berpaling darinya atau berpaling dari mempelajarinya merupakan bencana terbesar yang melanda. Oleh karenanya, menjadi kewajiban setiap hamba untuk mempelajarinya dan mempelajari hal-hal yang membatalkan, meniadakan atau menguranginya, demikian pula wajib baginya untuk mempelajari perkara apa saja yang bisa merusak/menodainya.” (lihat asy-Syarh al-Mujaz, hal. 8)